Sabtu, 14 November 2015

RESENSI (TERELIYE RINDU)



Perjalanan Menemukan Jawaban

Judul Resensi              : Perjalanan Menemukan Jawaban
Judul Buku                  : Rindu
Nama Pengarang         : Darwis-Tereliye
Resensator                   : Isma Nur Anggraini
Nama Penerbit             : Republika
Tahun Terbit                : 2014
Tebal Buku                  : ii + 544
ISBN                           : 978-602-8997-90-4
Jenis Buku                   : Fiksi
Harga                          : Rp20.000,-
Jenis Kertas                 : Kertas Buram

Bagi Merry Riana sang motivator wanita nomor 1 di Indonesia dan Asia, ketahuilah di mana saja tempatnya, di situ pula ada pengetahuan. Seperti itu pulalah yang dilakukan Tere Liye. Bedanya, Tere Liye bukan seorang motivator, tetapi pengarang buku. Tentu saja sudah ada banyak buku yang dikarang oleh Tere Liye. Namun, dalam bukunya yang berjudul Rindu ini merupakan salah satu buku yang menceritakan tentang kehidupan, bukan tentang percintaan seperti buku Tere Liye yang lainnya.
 Kisah ini menceritakan tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian-kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
“Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehlangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
“Apalah arti cinta, ketika menangis treluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apaun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jarakna setipis benang saja”

Alur cerita yang meliputi pengenalan tokoh, konflik, maupun klimaks diceritakan secara runtut oleh penulis. Hal itu tentu akan mempengaruhi kenyamanan pembaca. Bahasanya menggunakan bahasa-bahasa yang tidak rumit, akan memudahkan pembaca untuk memahami isi cerita. Dalam setiap bagian-bagian terdapat pertanyaan atau misteri yang membuat penasaran pembaca namun sekaligus tidak akan membingungkan karena akan di temui penjelasan atas setiap misteri dan kadangkala disertai sebuah makna hidup, hingga membuat pembaca menghayati cerita.   
Namun disamping cerita yang sangat menarik, cover buku cenderung tidak mewakili setiap bagian-bagian cerita yang sempurna tersebut. Seharusnya untuk menyempurnakan novel akan lebih baik jika desain sampul dibuat semenarik mungkin mengingat sampul adalah salah satu hal terpenting dalam novel. Selain itu, tidak ada profil pengarang pada pendahuluan ataupun pada bagian belakang novel. Ada baiknya jika dicantumkan profil pengarang dalam novel agar memberi pengetahuan pada pembaca akan penulis ataupun latar belakang karya-karyanya. Adapun juga manfaat novel untuk pembaca yaitu ada banyak sekali pelajaran-pelajaran hidup yang dapat diambil dari setiap alur ceritanya.
            Awalnya penulis mengira novel ini adalah novel yang menceritakan rindu diantara sepasang kekasih, ternyata sangat keliru. Ini adalah sebuah novel yang berkisah mengenai kerinduan beribadah di tanah suci oleh para penumpang kapal dengan latar belakang yang beragam. Menurut penulis pribadi, ada banyak hal kalimat-kalimat yang luar biasa yang disuguhkan dalam novel. Mengesankan, bisa dijadikan sebagai teori pemahaman dan nasihat hidup, juga bukan tidak mungkin jika diterapkan akan mampu membuat kita lebih ikhlas, bersyukur dan merasa damai dengan hidup yang kita jalani.

          Kisah sederhana ini mengisahkan lima orang dari ratusan orang dalam sebuah perjalanan suci di atas kapal pada tahun 1983. Lima orang ini, diam-diam memiliki pertanyaan besar dalam hidupnya. Perjalanan yang didasari dengan rasa rindu akan panggilan Tuhan, membuat beberapa anak manusia dipertemukan takdir dan mulai menemukan jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan penting itu.
Diawali dari penumpang pertama yaitu Bonda Upe, perempuan tionghoa berusia empat puluh tahun, baru belajar agama ketika berumur tiga puluh lima tahun, memiliki pengalaman pahit terhadap kota Batavia. Masa lalu yang sama sekali tak ingin dia ingat, yang kalu bisa rasanya ingin dia hapuskan dari memori otaknya. Ia dulu pernah menjadi seorang pelacur. Ia merasa begitu hina dan kotor karena profesi yang dulu pernah bertahun-tahun dilakoninya tersebut. Hingga ia merasa perlu untuk melarikan diri dari segalanya, dari kehidupannya yang dulu, dari kelarganya, dari daerah asalnya, karena takut di kenali orang-orang sebagai seorang manatan “pelcur”. Ia sampai merubah namanya, dari Ling Ling menjadi Bonda Upe. Kini ia sedang dalam perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ia takut sekali dan terus mempertanyakan, “Apakah Allah menerima ibadah haji seorang mantan pelacur?”. Pertanyaan tersebut terus menghantui dirinya. Namun jawaban yang diberikan Gurutta, sang ulama bijak itu, telah menjawab semua kegunduhan hatinya. “Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu, berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan yang lebih bahagia”. (h.312)
“Saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.”(h.313)  
Lalu penumpang kedua bernama Daeng Andhipati, seorang laki-laki yang masih muda, kaya raya, pintar, dan baik hati. Istri cantik, kedua anak perempuannya pintar dan lucu. Didalam kisah novel tokoh Daeng Andhipati, memiliki rsa benci yang telah bertahun-tahun ia rasakan dan ia simpan pada Ayahnya sendiri. Karena perlakuan kejam sang Ayah terhadap dirinya dan seluruh keluarganya, tak terkecuali kepada Ibunya. Hingga akhirnya sang Ibu meninggal setelah dipukuli sang Ayah. Rasa benci inilah yang memunculkan pertanyaan besar dalam dirinya. Bagaimana mungkin ia akan pergi naik haji dengan membawa kebencian ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar ia bisa memaafkan, melupakan semua? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu akan pergi? Gurutta kembali memberikan jawaban yang sungguh bijak, yang mampu menyentuh relung hati terdalam Daeng.
“Apakah kita berhak membeci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir? Kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya membenci diri sendiri.”(h373.)
“Kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baikdengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apapun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukanlah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”(h.376)
            Penumpang ketiga adalah pasangan sepuh Mbah Kakung Slamet dan Mbah Putri Slamet. Mereka adalah pasangan tua paling romantis yang pernah ada, yang membuat orang terinspirasi akan kisah cintanya. Tapi mereka pun sama-sama dilepas di tengah-tengah samudra. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci, Mbah Kakung kehilangan cinta sejatinya, yakni sang istri, Mbah Putri. Padahal perjalan haji ini adalah perjalanan haji ini adalah perjalanan yang amat mereka nanti –natikan. Ini adala pembuktian cinta mereka berdua yang telah berjuan bersama untuk mengumpulkan keping demi keping uang selama bertahun-tahun untuk bisa naik haji, karena mereka bukan berasal dari keluarga yang berada. Mimpi Mbah Kakung kandas seketika setelah ditinggalkan oleh Mbah Putri. Ia tak bisa terima, mengapa Istrinya tercinta harus diambil Allah sekarang? Saat sebentar lagi mereka akan sampai di Tanah Suci? Mengapa tak bisa menunggu sebentar saja? Menjawab kekecewaan dan kesedihan Mbah Kakung, Gurutta kembali mengeluarkan nasehat yang sungguh bijak. Dengan bahasa yang penuh hati-hati karena bicara dengan orang yang lebih tua darinya, ia bisa mendamaikan hati Mbah Kakung. Gurutta berpesan.
“Lahir atau mati adalah takdir Allah. Kita tidak bisa menebaknya. Kita tidak bisa memilih orang tua, tanggal, tempat.....tidak bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa menunda,maupun memajukannya walau sedetik. Kenapa Mbah Putri harus meninggal di kapal ini? Allah yang tahu alasannya. Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi seorang muslim mendustakan takdir Allah.”(h470.)
“Biarkanlah waktu mengobati seluruh kesedihan. Ketika tidak tahu mau melakukan apa lagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya unuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan mengahpus selembar demi selembar kesedihan. Minggu demi minggu akan melepas sepapan demi sepapan kegelisahan, bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati. Biarkanlah waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.”(h.472)
            Penumpang keempat adalah seorang pemuda pendiam yang memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai juru kemudi Kapal Phinisi, lalu melamar kerja sebagai apa saja kepada Kapten Philips. Apapun akan ia kerjakan dijaga pun tak apa, asal ia bisa pergi sejauh-jauhnya dari kota kelahirannya, Makasar. Meninggalkan cinta sejatinya. Kisah cinta pemuda seorang pelaut bernama Ambo Uleng ditolak mentah-mentah oleh keluarga sang gadis hanya karena ia bukan anak bangsawan, bukan dari kalangan terpelajar, dan tidak memiliki harta yang cukup banyak untuk meminang sang gadis. Padahal sang gadis juga diam-diam menyukai dirinya. Kenyataan pahit ini membuat Ambo Uleng memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari kota tempat tinggalnya, dan bergabung dalam rombongan kapal penumpang haji dengan mendaftar menjadi seorang kelasi. Ia pun sama seperti tokoh-tokoh lainnya, mengutarakan kesedihan dan kehancuran yang dirasakan hatinya pada Gurutta, sang ulama mahsyur itu. Gurutta lagi-lagi mampu memberikan jawaban yang bijak atas pertanyaan dan kegundahan yang dirasakan Ambo Uleng.
“Lepaskan. Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah-kisah cinta dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita di muka bumi. Tidaklah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.(h.492)
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibuklah dengan belajar. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Jika pun akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang lebih baik.(h.493)
            Penumpang yang terakhir adalah seorang ulama Mahsyur bernama Ahmad Karaeng. Gurutta begitu panggilan penduduk Makasar untuknya, selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi tak pernah menemukan jawaban untuk pertanyaan sendiri. Ia mempunyai keinginan negeri ini merdeka dari penjajahan, tapi ia terlalu takut untuk ikut serta dalam peperangan, selalu menghindar dari medan perang, dan lebih memilih dengan cara yang lembut, melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah agama. Namun pilihannya untuk menempuh jalan damai itu seketika dipertanyakan dalam sebuah kondisi yang begitu genting dan mendesak, yakni ketika kapal yang ia tumpangi bersama ribuan orang lainnya dibajak oleh perampok. Ambo Uleng sudah menyusun rencana penyerangan balik terhadap para perampok tersebut, namun dilain pihak Gurutta malah tidak menyetujui rencana tersebut. Ia menolak mentah-mentah dengan alasan akan banyak korban yang jatuh jika memutuskan untuk melakukan penyerangan balik. Dalam kondisi genting itulah, Ambo Uleng seorang laki-laki yang bukan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, yang hanya seorang kelasi dapur itu maupun membuat Gurutta menyadari kesalahan terbesarnya, membuat sang Ulama’ menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang selama ini menghantuinya.
“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meningalnya Syekh Raniri dan Cut Keumala, sejak saat itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri dikaki dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.”(h.531)
“Gurutta masih ingat ceramah Gurutta beberapa hari lalu di masjid kapal? Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tenaskan pedang penuh gagah berani., dengan lisanmu, sampai dengan perkasa, atau dengan di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.”(h.532)
“Ilmu agamaku dangkal Gurutta. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci didalam hati atau lisan. Kita tidak bisa menasehati perompan itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan seluruh penumpang dengan benci d dalam hati. Malam ini kita harus menebaskan pedang. Percayalah Gurutta, semua akan berjalan baik. Kita bisa melumpuhkan perompak itu. Aku mohon. Sungguh aku mohon. Rencana ini sia-sia jika Gurutta tidak bersedia memimpinyya.”(h.533)
Begitulah kalimat-kalimat yang mengalir dari seorang kelasi rendahan bernama Ambo Uleng. Kalimat-kalimat yang begaikan tamparan yang begitu keras mengenai pipi seorang Ulama’ mashur dan bijak seperti Gurutta. Ia yang selama ini selalu tenggelam dalam tulisan-tulisan dan buku-buku yang ia buat, ia yang selama ini selalu mensyiarkan ajaran islam dan memberikan nasihat-nasihat bijak pada orang lain tiba-tiba merasa begitu tak berdaya ketika dihadapkan pada situasi terdesak oleh pelaku kemungkaran. Ia merasa begitu munafik karena selama ini dengan mudahnya nasihat-nasihat bijak mengalir dari mulutnya, namun justru ketika dihadapkan pada posisi sulit seperti itu, ia malah tak mampu berada di garda terdepan untuk memperjuangkan umat nya.





Kamis, 12 November 2015

contoh analitycal exposition



Ø  Title                        : The Young Should Not Date
Ø  Topic                     : Date
Ø  Argument               : 1. Can disturb the time for study
  2. Inclined make into individual brittle
  3. Dating supports free sex


THE YOUNG SHOULD NOT DATE
            The young should not date because can disturb the time for study, inclined make into individual brittle, beside that dating can supports free sex.
            There are many bad effects or dating. Firstly dating can disturb concerteration for study. According to education observer Muhammad Zuhdan there is 1,3 milion young drop out of school because they think so much about dating than thinking about school. So that it make they depression.
            Secondly dating can also make individual brittle, According to phisichology, the young set to date and get problem in related with couple has view more serious and attitude more covered. It cause feeling diterssfully and disease etc.
            Thirdly dating can supports free sex. Social observer from university of Indonesia Devie Rahmawati express fact thet are 93% young in Indonesia is ever have sexual intercourse.
            In conclusion the young not date.